Era "Kebenaran Rasa-rasanya" di Balik Hiruk Pikuk Dunia
Oleh: Muhammad Syafei (Dewan Pendiri Formasi Indonesia Satu)
Era sekarang ini oleh banyak orang pandai disebut era post-truth yang terjemahannya adalah pasca kebenaran (ada juga yang menyebut post-trust), yaitu era lebih dominannya keyakinan personal atas sebuah informasi dibanding fakta atau kebenaran sesungguhnya.
Terjemahan bebas yang paling gampang untuk menggambarkan istilah post-truth ini, saya menyebutnya dengan era "kebenaran rasa-rasanya". Oh, ini rasanya benar, cocok dengan preferensi (kecenderungan) saya. Tidak penting ada penjelasan rasional dan atau fakta yang menunjukkan sebaliknya. Pokoknya sudah benar dan cocok dengan kecenderungan saya, maka sudah pasti benar. Habis perkara !!!
Istilah post-truth sendiri pertama kali diperkenalkan Steve Tesich, dramawan keturunan Amerika-Serbia. Tesich melalui esainya pada harian The Nation (1992) menunjukkan kerisauannya yang mendalam terhadap fenomena post-truth, dengan maraknya upaya memainkan opini publik dengan mengesampingkan dan bahkan mendegradasi fakta dan data informasi yang objektif.
"Kebenaran rasa-rasanya" itu makin menguat dan menyebar ke seluruh pelosok dunia akibat semakin maju dan berkembangnya internet serta teknologi informasi pada umumnya.
Advertisement
Sekarang ini berbagai macam informasi yang begitu derasnya bisa dalam sekejap masuk ke bilik-bilik pribadi melalui smartphone yang hampir semua orang memiliki. Sudah tidak sempat (lebih tepatnya: malas) untuk mengecek kebenaran atau mencari informasi pembanding, asal sudah cocok dengan kecenderungan pribadi, maka jari-jari langsung beraksi dan menyebarlah informasi yang belum tentu benar itu melalui berbagai saluran. Lalu ada puluhan, ratusan, ribuan bahkan jutaan orang yang memiliki kecenderungan serupa untuk melakukan hal yang sama. Itulah yang kemudian disebut "viral".
Fenomena seperri itu bisa terjadi ya karena post-truth tadi, karena " kebenaran rasa-rasanya" itu. Sehingga jika seseorang sudah tidak suka dengan si A misalnya, informasi negatif apapun tentang si A cenderung akan ditelan mentah-mentah. Jangankan untuk mencari kebenarannya dengan di antaranya melalui informasi pembanding, bahkan belum tentu tahu juga substansi permasalahannya. Yang penting cocok dengan kecenderungannya maka dianggap sudah pasti benar. Dan tentu saja biasanya bukan sekedar ditelan mentah-mentah, tapi juga disebarluaskan. Nah loh !
Begitupun sebaliknya, jika sudah suka dengan si B, informasi apapun yang positif tentang si B ya telan dan sebarkan. Tak heran jika di era post-truth ini orang yang punya rekam jejak pernah berkhianat, sering berbohong, miskin prestasi, hanya pintar memutar kata tapi tidak becus kerja, bisa dipuja-puja sedemikian rupa, bahkan oleh sebagian pengikutnya sudah dianggap seperti "orang suci". Lhadalah !
Menjengkelkan? Sudah pasti. Namun itu sudah menjadi konsekuensi logis dari kemajuan teknologi informasi yang luar biasa pesatnya, yang membuat setiap orang bisa omong dan menyebarkannya nyaris tanpa batas. Tak perlu kita ratapi atau menghindar, karena setiap teknologi secara umum seperti pisau bermata dua, memiliki sisi positif sekaligus negatif. Bisa mendatangkan manfaat sekaligus membawa mudharat, tinggal sisi mata pisau mana yang akan kita gunakan.