Advertisement
Tabloid Media Aliansi Indonesia

Media Aliansi Indonesia Edisi Ke-27

Media Aliansi Indonesia Edisi Ke-27

Mencari Kepala Daerah Terbaik Melalui Pilkada yang Berkualitas

Reformasi tahun 1998, terlepas dari pro dan kontra, melahirkan semangat-semangat baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia. Semangat yang terwakili dalam isu-isu sentral itu di antaranya tentang hak azasi manusia (HAM), penegakan hukum, demokratisasi dan desentrasilasi kekuasaan.

Isu-isu sentral itu kemudian terwadahi dalam konstitusi negara melalui Amandemen UUD 1945 dan sejumlah TAP MPR. Begitupun dengan peraturan pelaksanaannya dengan terbitnya sejumlah Undang-Undang (UU) serta peraturan-peraturan teknis di hirarki di bawahnya.

Isu demokratisasi diakomodasi melalui UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), yang kemudian dilanjutkan dengan pemilu legislatif yang diikuti oleh 48 partai politik.

Desentralisasi kekuasaan ditetapkan melalui TAP MRI RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diikuti dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Demokratisasi terwadahi lebih lanjut melaui amandemen UUD 1945 dengan Pemilihan Presiden secara langsung, dan sejumlah peraturan perundang-undangan (PUU) tentang Pemilu, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Pemerintahan Daerah, baik yang merupakan UU baru maupun perubahan dari UU sebelumnya yang sudah ada.

Jika dicermati lebih dalam, demokratisasi dan desentaralisasi itu kemudian bertemu dan menyatu serta terwadahi dalam sejumlah PUU baik tentang Pemerintahan Daerah maupun Pemilu dan Pilkada.

Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan pengganti UU Nomor 22 Tahun 1999, terdapat 63 pasal dari total 240 pasal mengatur tentang pilkada langsung.

Demokratisasi adalah tentang pengejawantahan kedaulatan rakyat melalui partisipasi publik dalam penyelenggaranan negara, dan desentralisasi melalui otonomi daerah adalah tentang pembagian kekuasaan yang lebih adil dan proporsional antara pusat dan daerah dalam berbagai aspeknya.

Sehingga bertemu serta menyatunya antara demokratisasi dan desentralisasi melalui Pilkada seharusnya mampu mewujudkan partisipasi publik dalam menciptakan dan membangun pemerintahan daerah yang merupakan repesentasi kehendak masyarakat setempat serta mampu mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya.

PUU tentang Pemerintahan Daerah, Pemilu dan Pilkada terus diperbaharui, di antaranya melaui UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Perpu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Namun kenyataannya sejak diberlakukan pilkada secara langsung tercatat 300 lebih kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, dengan 124 di antaranya sejak tahun 2004 hingga 2019 ditangani oleh KPK.

Kenyataannya demokratisasi baru berupa demokrasi prosedural, belum substansial, dan justru menjadi ajang perebutan kekuasaan semata. Desentralisasi kekuasaan pun menjelma menjadi desentralisasi korupsi.

Pilkada (secara umum) baru mampu melahirkan kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) yang menjelma bak “raja-raja kecil” di daerah, sementara rakyat atau masyarakatnya masih menjadi “obyek penderita”, hanya disapa dan diperlukan untuk mendulang suara.

Hal itulah yang menjadi keprihatinan bersama antara Menteri Dalam Negeri (Mendagri) RI Jenderal Polisi (Purn.) Prof. Drs. H. Muhammad Tito Karnavian, M.A., Ph.D., dan Ketua Umum Lembaga Aliansi Indonesia (LAI) H. Djoni Lubis.

Dengan banyaknya kepala daerah yang terjerat masalah hukum, jalannya pemerintahan di daerah yang bersangkutan menjadi terganggu dan terhambat. Ujungnya kembali masyarakat yang terkena dampak atau menjadi korban.

Permasalahan seperti itu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Akar permasalahan harus dicari agar ditemukan solusi yang tepat.

Menurut Ketua Umum LAI, akar permasalahan tersebut adalah kualitas pilkada yang buruk.

“Kalau disimpulkan dalam satu kalimat ya itu, kualitas pilkada yang buruk. Kalau mau diurai satu-persatu, ada beberapa hal atau masalah yang menjadi penyebab buruknya kualitas pilkada,” ujarnya.

H. Djoni Lubis mengatakan salah satu penyebab itu ialah politik biaya tinggi terkait pilkada. Sudah menjadi rahasia umum, untuk mendapatkan rekomendasi dari partai politik calon kepala daerah harus memberikan mahar yang angkanya fantastis.

“Politik biaya tinggi, politik uang awalnya dari situ. Jika sudah memberikan mahar yang dikemas dalam istilah ‘uang saksi’ dan yang sejenisnya, tentu calon yang bersangkutan bagaimana caranya harus jadi atau terpilih. Singkatnya menghalalkan segala cara. Dari situ politik uang berikutnya terjadi, menjadi satu rentetan,” jelasnya.

Jika seseorang terpilih menjadi kepala daerah dengan menghalalkan segala cara, nyaris mustahil diharapkan benar-benar berjuang untuk kemajuan daerahnya, untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya.

Masalah lainnya yang krusial adalah penyelanggaraan Pilkada itu sendiri. Tahapan-tahapan Pilkada, dari sejak pembentukan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), penyusunan Daftar Pemilih, penetapan calon kepala daerah, dan tahapan-tahapn lainnya.

Terkait penyelenggaraan Pilkada, permasalahan penyelenggara pilkada yaitu KPU dan Bawaslu sebagai pengawas juga tidak bisa diabaikan. KPU dan Bawaslu harus benar-benar menjaga netralitasnya, harus terbebas dari konflik kepentingan dan hanya tunduk patuh terhadap PUU terkait pemilu dan pilkada.

Masalah krusial berikutnya adalah masyarakatnya itu sendiri. Masyarakat harus memiliki kepedulian tinggi terhadap calon kepala daerahnya, agar yang terpilih benar-benar melalui proses pilkada yang berkualitas.

“Pilkada yang berkualitas itu ukurannya apa? Setidaknya ada tiga. Yang pertama pilkada yang terbebas dari praktek politik uang. Kedua penyelenggaraan pilkada yang profesional yaitu memiliki akurasi tinggi di tiap-tiap tahapannya dan terbebas dari berbagai macam manipulasi. Ketiga tingkat kesadaran masyarakat,” kata H. Djoni Lubis menjelaskan.

Tingkat kesadaran masyarakat itu, menurut H. Djoni Lubis, secara garis besar terlihat dalam dua hal. Pertama tingkat partisipasi masyarakat memberikan suaranya, dan yang kedua tingkat kepedulian masyarakat terhadap pelaksanaan pilkada.

Kepedulian masyarakat menjadi hal yang sangat penting dalam menentukan kulalitas pilkada. Jika masyarakat apatis (cuek, masa bodoh) kemungkinan besarnya menghasilkan kualitas pilkada yang rendah, dan yang akan menanggung akibat buruknya kualitas pilkada adalah masyarakat di daerah yang bersangkutan itu sendiri.

Kepedulian masyarakat itu dimulai dari skup paling kecil yaitu diri sendiri dan keluarga ialah dengan menolak suap berupa pemberian atau iming-iming yang populer dengan istilah “serangan fajar” untuk memilih calon tertentu.

“Bayangkan misalnya mendapat amplop uang senilai 200 ribu untuk memilih calon tertentu. 200 ribu kalau dibagi lima tahun berarti mendapat 40 ribu per tahun, kalau dibagi lagi duabelas bulan hanya 3.333 Rupiah perbulan. Murah sekali masa depan daerahnya dijual dengan nilai segitu,” paparnya.

Kepedulian dalam skup yang lebih besar harus berperan aktif menciptakan pilkada yang berkualitas di daerahnya masing-masing.

“Bagaimana caranya? Kawal dan awasi setiap tahapan-tahapan pilkada. Awasi para peserta pilkada. Awasi KPU dan Bawaslhu,” tegasnya.

Sebagus apapun sistemnya dan selengkap apapun perangkatnya, yang paling menentukan tetap faktor manusianya (the man behind machine).

“Calon kepala daerah peserta pilkada adalah bagian dari sistem, begitu juga dengan KPU dan Bawaslu. Namun bagaimana dengan faktor manusia atau oknumnya?” kata dia mempertanyakan.

Terkait manusia atau oknumnya, menurut Ketua Umum LAI itu ada dua hal yang pokok, yaitu kapabilitas dan integritas (kejujuran).

“Soal kapabilitas, okelah kita tidak bahas lagi, karena semua menjadi apa itu telah melalui suatu mekanisme yang diatur sedemikian rupa. Tapi bagaimana dengan integritas? Di situlah peran penting masyarakat untuk mengawasi,” tegasnya.

KPU dan Bawaslu itu lembaga negara yang sah, sehingga sesuai Visi Aliansi Indonesia harus didukung sepenuhnya dalam penyelenggaraan pemilu khususnya pilkada,. Namun orang-orang di dalam KPU dan Bawaslu itulah yang harus dikawal dan diawasi kinerjanya, agar pilkada benar-benar berlangsung jujur dan adil. Pilkada benar-benar berkualtas.

“Mengawal dan mengawasi pelaksana dan pelaksanaannya, itulah Misinya Aliansi Indonesia,” kata dia.

Untuk itu Ketua Umum LAI menginstruksikan kepada pengurus tingkat pusat (DPP), provinsi (DPD), kabupaten/kota (DPC), kecamatan (DPAC) dan desa/kelurahan (DEPIRA) untuk mengawal dan mengawasi setiap tahapan pelaksanaan pilkada di daerah masing-masing.

Begitupun kepada masyarakat luas, H. Djoni Lubis meminta untuk peduli, untuk tidak apatis terhadap penyelenggaraan pilkada di daerahnya.

Di antara berbagai tahapan pilkada, peran masyarakat sangat krusial dalam penetapan Daftar Pemilih Sementara (DPS) dan Daftar Pemilih Tetap (DPT). DPS dan DPT seringkali terdapat ketidak sesuaian, baik karena murni kekeliruan maupun faktor manipulasi dengan melibatkan peserta yang menghalalkan segala cara sehingga muncul nama-nama pemilih fiktif,

“Yang paling mengerti dan datanya paling akurat tentang kependudukan itu ya RT, RW dan Lurah/Kepala Desa. Jika masyarakat peduli mulai dari tingkat RT, RW dan desa/kelurahan, maka ketidaksesuaian baik yang disengaja maupun tidak, bisa diminimalisir,” jelasnya.

Yang berikutnya ialah tentang pelanggaran-pelanggaran pemilu.

Setiap pelanggaran pemilu dalam pilkada harus benar-benar diproses secara adil dan transparan, terutama yang termasuk kategori tindak pidana pemilu.

“Nah, di sini peran masyarakat juga penting. Setiap anggota masyarakat bisa mengawasi kemudian mencatat, merekam lalu melaporkan ke instansi terkait. Dengan teknologi sekarang kan gampang foto atau merekam video yang bisa dijadikan alat bukti pelaporan,” lanjut H. Djoni Lubis.

Dan yang lebih penting ialah mengawal setiap pelaporan pelanggaran pemilu. Memang ada Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) yang terdiri dari Bawaslu, Kejaksaan dan Kepolisian, namun Gakkumdu tetaplah juga hanya sebuah sistem. Oknum-oknum pelaksana di dalamnya tetap harus diawasi agar tidak terjadi penyalahgunaan jabatan dan wewenang, sehingga pelanggaran-pelanggaran pemilu kemudian diendapkan atau hanya ditindak ala kadarnya sekedar untuk formalitas.

“Peserta pemilu, dalam hal ini pilkada, yang melakukan pelanggaran serius apalagi sampai masuk kategori pidana pemilu harus ditindak, bahkan harus didiskualifikasi jika pelanggarannya massif atau termasuk kategori pelanggaran berat,” tegasnya.

Pilkada itu untuk mencari kepala daerah yang terbaik. Kepala daerah terbaik hanya mungkin dihasilkan dari pilkada yang berkualitas, yaitu pilkada yang benar-benar berlangsung jujur dan adil.

“Sekali lagi, agar pilkada berkualitas ya harus dikawal dan diawasi. Jika masyarakatnya tidak peduli, apatis, bisa-bisa harus menderita selama lima tahun,” pungkasnya.