Polemik Perpanjangan Masa Jabatan Kades, Disebut Niat Buruk Politisasi dan Suburkan Oligarki Desa. Komunikolog Juga Sentil Soal Mafia Tanah

SOLORAYA - Polemik wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun terus bergulir, bahkan tidak sedikit pula harapan berbagai lapisan agar hal tersebut ditolak DPR dan pemerintah.
Selain tuai banyak sorotan, hal itu diduga juga bernuansa politis dengan tukar guling dukungan menuju kontestasi pemilu 2024, usulan tersebut disebut sama sekali tidak relevan dengan urgensi kebutuhan pembenahan desa. Sebaliknya, akomodasi atas usulan tersebut akan menyuburkan oligarki di desa dan politisasi desa.
Perlu diketahui, bukan rahasia umum posisi Desa hingga saat ini kondisinya masih dilingkupi sejumlah masalah, mulai dari tata kelola keuangan yang masih eksklusif dari partisipasi bermakna (meaningful participation) masyarakat hingga korupsi. Akibatnya, pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa belum optimal.
Oleh karena itu, pengambil kebijakan, baik itu eksekutif maupun legislatif, seharusnya fokus urun rembuk membenahi regulasi dan sistem yang efektif meningkatkan kemajuan pembangunan desa, termasuk didalamnya mereduksi potensi korupsi. Bukan menyambut usulan yang justru akan memperburuk masalah di desa.
Salah satu tokoh Komunikolog politik dan hukum nasional, Tamil Selvan akhirnya angkat bicara, menilai permintaan para kades tersebut sangat konyol dan sama sekali tidak memiliki alasan logis. Menurutnya, permintaan kepala desa (kades) untuk perpanjangan masa jabatannya seharusnya tidak perlu digubris apalagi dikabulkan karena jika masa jabatan kades betul-betul diperpanjang maka bakal menimbulkan banyak persoalan, salah satunya secara sederhana yakni sengketa kepemilikan tanah juga.
Mencuat diberbagai publik, bagaimana sepak terjang permainan oknum-oknum kepala desa yang membuat praktik mafia tanah menjadi tumbuh subur. Kemudian seiring dengan status Indonesia sebagai negara berkembang dan telah memiliki sejarah kemerdekaan yang panjang maka seharusya wilayah Kabupaten di Indonesia berkurang seiring bertambahnya Kota.
``Kabupaten sendiri masih terdapat desa-desa, sementara wilayah Kota tidak. Keberadaan kepala desa yang dipilih langsung juga menjadi kontra-administrasi dengan Bupati sebagai kepala daerah, sebab banyak oknum kepala desa merasa memiliki kewenangan sendiri karena merasa dipilih langsung oleh rakyat, apalagi sejak adanya dana Rp 1 miliar untuk satu desa. Nah, hal ini menyebabkan kepala desa menjadi raja kecil di tempatnya,""bebernya.
Rangkaian yang sama juga diuraikan, oleh tren penindakan korupsi yang diinventarisir Indonesia Corruption Watch (ICW) setiap tahun menunjukkan fenomena mengkhawatirkan terkait dengan desa.
Baca juga: Polemik Pasar Sukowati Sragen Tak Kunjung Reda, Kontraktor Dengan Sub Kontraktor Tuai Sorotan
Dari data mencatat, korupsi di level desa konsisten menempati posisi pertama sebagai sektor yang paling banyak ditindak atas kasus korupsi oleh aparat penegak hukum sejak 2015-2021. Sepanjang tujuh tahun tersebut, terdapat 592 kasus korupsi di desa dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 433,8 miliar.