JK, "Komandan" Barisan Sakit Hati Setelah Gagal Maju Cawapres
Opini Oleh: Muhammad Safei (Dewan Pendiri Formasi Indonesia Satu)
Politik di Indonesia memang unik (dalam konotasi negatif), karena banyak politikus bergabung atau mendukung satu pihak bukan karena kesamaan ideologi atau kecocokan dengan program kerja, tapi lebih karena sakit hati.
Begitupun dengan politikus-politikus yang mendadak jadi oposisi setelah dicopot dari jabatannya atau tidak menjabat lagi di periode berikutnya. Tedjo Edy Purdijatno bisa disebut salah satunya begitu dicopot dari posisi Menko Polhukam langsung menjadi oposisi partainya pun langsung pindah dari Nasdem ke Berkarya.
Anies Baswedan yang dicopot dari Jabatan Mendiknas, Sudirman Said yang jabatan Menteri ESDM dilucuti, Rizal Ramli (alm) yang dilepas jabatan Menko Ekuin-nya ada di barisan deretan depan.
Belum lagi kalau menyebut nama-nama seperti Ryamizard Ryakudu, Sutiyoso, maupun politikus di level BUMN dan sebagainya deretan nama-nama yang patut diduga sebagai barisan sakit hati itu bisa sangat panjang.
Advertisement
Dan puncaknya (kalau boleh disebut begitu) adalah Jusuf Kalla alias JK yang gagal maju lagi menjadi cawapres Jokowi setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2018.
Kata "komandan" dalam judul artikel ini diletakkan dalam tanda kutip, yang artinya memiliki makna konotatif, bukan makna yang sebenarnya. Dan itu berdasarkan kenyataan bahwa dari deretan orang yang bisa diduga sebagai barisan sakit hati itu, JK posisinya paling tinggi yaitu (mantan) Wakil Presiden.
Oleh karena itu tidak bisa disalahkan jika pernyataan JK yang bisa dianggap sebagai provokasi atau hasutan dipandang paling berbahaya.
JK, yang telah mendeklarasikan diri sebagai pendukung Anies-Muhaimin itu, mengeluarkan pernyataan yang sangat berbahaya dengan menyebut kecurangan pemilu yang diungkap dalam film "Dirty Vote" itu hanya 25% dari kecurangan pemilu.