Pengadaan Barang dan Jasa, Ketua KGS Sulsel: "Jangan Seenaknya Intervensi, Bos!”
Peraturan Tata Kerja Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Nomor: PTK-007 SKKMA0000/2017/S0, Revisi 4 (terakhir) tanggal 17 Mei 2017 (PTK 007), pada dasarnya dibuat sebagai sarana kontrol bagi Pemerintah atas biaya yang akan dikeluarkan oleh Kontraktor yang berpengaruh pada besaran cost recovery.
Disamping sebagai sarana kontrol atas biaya, didalam PTK 007 diatur mengenai mekanisme pengadaan barang dan jasa yang berfungsi sebagai rujukan prosedural sekaligus sarana kontrol oleh pemerintah.
Demikian yang disampaikan oleh Ketua Komando Garuda Sakti (KGS) Lembaga Aliansi Indonesia (LAI) DPD Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), Muh Bahar Razak.
Advertisement
Baca juga: Ketua LAI Sulsel: Aparat Harus Profesional Dalam Mengungkap Kerugian Negara
Bahar menyampaikan, dasar penentuan wilayah kerja, itu sudah diatur berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan juga diikuti dengan beberapa peraturan turunan seperti, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Peraturan Menteri Energi dan Sumber daya mineral RI Nomor 040 Tahun 2006, dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 35 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi. Peraturan-peraturan tersebut mengatur wilayah kerja dan prosedur lelang yang sama sekali tidak boleh diabaikan.tegasnya.
Oleh karenanya, kata Bahar, terdapat beberapa, catatan sehubungan dengan kemungkinan adanya penyimpangan dalam proses pengadaan barang dan/atau jasa oleh Kontraktor Migas diantaranya seperti :
a. Adanya "Intervensi" oleh pejabat tinggi dalam keputusan perencanaan pengadaan;
b. Pengkondisian terhadap "spesifikasi tertentu" yang berujung pada pengarahan
pemenang pada pihak tertentu (persekongkolan vertical);
c. Kurangnya kompetisi atau dalam beberapa kasus terjadi "kolusi penawaran" (persekongkolan horizontal); dan
d. Konflik kepentingan pada proses evaluasi.
Advertisement
Dengan demikian, kata Bahar, diperlukan beberapa hal yang berkaitan dengan isu kelembagaan yang masih membutuhkan Pengawasan secara Ketat utamanya Dengan adanya dilema kelembagaan yang dialami Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), terdapat beberapa celah hukum di mana sinkronisasi kebijakan di sektor hulu Migas belum menjadi perhatian utama, baik antar Kementerian/Lembaga di tingkat pusat maupun hubungan antara pusat dan daerah.
“Hal ini berdampak pada persoalan teknis pada bisnis hulu Migas yang berujung pada munculnya ekonomi berbiaya tinggi,” ujar Bahar.
Dengan demikian, kata Bahar pula, Kelembagaan SKK Migas paska dibubarkannya Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) juga masih menjadi persoalan yaitu apakah BP Migas berada di bawah Kementerian ESDM atau langsung di bawah Presiden?
Advertisement
Baca juga: Saat Ada Kades Terjerat Masalah Hukum Terkait DD dan ADD, Inspektorat Jangan Lepas Tangan
“Dengan begitu sebagai dampak kongkret yang bisa diukur sebagai dampak dari dilema kebijakan dan singgungan logika kebijakan di atas, tidak mengherankan jika dalam beberapa tahun terakhir produksi minyak bumi contohnya didominasi oleh empat perusahaan besar dengan total 70% lebih dari produksi minyak di Indonesia pada tahun 2018 (PWC, 2019),” tutupnya.