Beban Membuktikan itu Ada Pada yang Mengatakan "Ada"

Bagi yang terbiasa dengan diskusi atau debat ilmiah pasti tahu atau minimal pernah mendengar istilah "burden of proof", yaitu beban untuk membuktikan.
Kapan "burden of proof" itu berlaku? yaitu saat ada yang menyatakan atau berpendapat "ada" terhadap sesuatu hal sementara pihak lain menyatakan "tidak ada".
"Burden of proof" ini berlaku terhadap semua hal yang bisa atau perlu diperdebatkan secara ilmiah. Namun saran saya jangan berlakukan itu dalam debat agama, karena bisa-bisa banyak orang yang kelimpungan lalu "asah golok". Jadi, anggap saja agama bukan ranah ilmiah dan tidak perlu diperdebatkan secara ilmiah, cukup yakini saja apa yang cocok buat masing-masing. Lebih baik kita berlakukan kaidah "burden of proof" pada soal lain saja, pemilu (termasuk pilpres tentu saja) misalnya.
Nah, soal "burden of proof" terkait pemilu itu sederhana. Pertama KPU sebagai penyelenggara pemilu harus membuktikan bahwa mereka telah bekerja sesuai aturan yang berlaku mulai dari penyusunan daftar pemilih sementara (DPS), daftar pemilih tetap (DPT), verifikasi parpol peserta pemilu dan seterusnya hingga pemungutan suara, rekapitulasi suara dan penetapan hasil pemilu.
Ada lembaga yang mengawasi KPU yaitu Bawaslu, jika ditemukan ketidak sesuaian ataupun pelanggaran terhadap aturan yang ada Bawaslu akan membuat keputusan berupa rekomendasi (seperti perbaikan DPS, perbaikan DPT, pemungutan suara ulang/PSU, dan sebagainya), dan jika terdapat indikasi unsur pidana pemilu Bawaslu akan menindak lanjuti bersama Gakumdu (Penegak Hukum Terpadu). Di tahap ini "burden of proof" ada pada Bawaslu dan Gakumdu.
Advertisement
Di luar apa yang ditemukan oleh Bawaslu pada dasarnya dinyatakan tidak ada pelanggaran dan yang sejenisnya. Lalu bagaimana jika ada indikasi pelanggaran yang luput dari tindakan Bawaslu? Masyarakat, baik masyarakat umum maupun peserta pemilu punya hak untuk melaporkan ke Bawaslu. Nah, di sini "burden of proof" pindah ke pihak pelapor. Jika bisa membuktikan, tentu kewajiban Bawaslu untuk menindak lanjuti. Namun jika tidak bisa membuktikan tentunya tidak boleh ngamuk dan memaksakan kehendak.
Kemudian jika tidak puas dengan kinerja KPU dan Bawaslu masyarakat masih bisa melaporkan ke DKPP terutama terkait masalah etik personel KPU maupun Bawaslu. Sekali lagi "burden of proof" ada pada si pelapor.
Berikutnya ya setelah KPU menyelesaikan rekapitulasi suara dan menetapkan hasil pemilu tanggal 20 Maret nanti. Jika tidak terima dengan hasilnya dengan disertai tuduhan kecurangan, masih ada satu jalan lagi yaitu menggugat melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Namun lagi dan lagi, "burden of proof" ada pada pihak penggugat. Sedangkan pihak tergugat tidak perlu membuktikan apapun, selain menyanggah dalil penggugat secukupnya.
Jadi sangat mudah difahami kenapa ada demo berjilid-jilid dan isu hak angket, karena mereka yang menuduh pemilu curang itu tidak akan pernah mampu memenuhi kaidah "burden of proof", tidak akan pernah bisa membuktikan tudingan kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif yang signifikan mempengaruhi hasil pemilu.
Bhabinkamtibmas Wilayah Hukum Polsek Ciawi Polres Bogor Giat Cooling Sistem Sambang Warga..
Bhabinkamtibmas Wilayah Hukum Polsek Cujeruk Giat Cooling Sistem Sambangi Pos Siskamling Monitoring..
Durian di Kantor Kecamatan Leuwiliang Bogor Diserbu warga, Harga Rp125/100 Ribu Masih Bisa..
PUPR Kota Tangerang Sigap Penanganan Banjir
14 Tahun Tak Ditemukan Penyakit Rabies, Pemkot Tangerang Raih Penghargaan



